Senin, 23 Juni 2014

HIV AIDS telah nyata tiba di halaman rumah kita

Minggu lalu saya bertemu dengan Rudy, bukan nama sebenarnya, seorang anak laki-laki tetangga saya yang berusia 13 tahun. Pernah pada tahun 2009 saya bercerita tentang Rudy dan adiknya yang bernama Burhan (juga bukan nama sebenarnya) yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya akibat virus HIV/AIDS.

Rudy kini sudah kelas II SMP. Badannya masih gemuk, lucu, dan menggemaskan. Tetapi, akalnya tidak sepanjang Burhan, adiknya yang selisih tiga tahun dengan kakaknya. Terus terang, saya berharap-harap cemas atas kedua anak itu. Moga-moga mereka tak terinfeksi HIV yang diturunkan oleh kedua orangtuanya. Jika tertular, berarti usia Rudy tinggal dua tahun lagi apabila mengacu pada perkiraan dokter yang menyebut inkubasi HIV/AIDS adalah 10 hingga 15 tahun.

Ah... membayangkan hal buruk yang mungkin bakal terjadi pada kedua anak itu, hati saya sungguh miris. Sebab, semenjak ditinggal mati kedua orangtuanya yang meninggal selisih setahun, baik Rudy maupun Burhan langsung menjadi bagian dari kami, menjadi anak-anak kami, warga RT 03 di sebuah perumahan di wilayah Ciledug, Tangerang. Kami secara bergotong-royong mengumpulkan sejumlah uang untuk mengurus keperluan sekolah dan kehidupan keduanya, kendati nenek dan saudara-saudara ibunya almarhum juga turut mengurusnya.

"Bagaimana sekolahmu, Rud?" saya membuka percakapan.
"He-he-he..."
"Bisa enggak mengikuti pelajaran?"
"He-he-he... bisa...."

Setelah percakapan yang banyak dibumbui ketawa Rudy, saya pun iseng bertanya, "Ini belok ke mana kita?"
"Ya ke kananlah...," jawab Rudy ragu.
"Kanan atau kiri?"
"Kkk kanan, ya kanan...," ujar Rudy sambil mengangkat kedua lengannya, seperti sedang bertanya kepada keduanya, jalan manakah yang harus dipilih untuk menuju ke rumahnya.
"Kanan atau kiri, Rud?"
"Ya ke kananlah...," kata Rudy sambil mengangkat tangan kirinya.

Dengan tersenyum sedih, saya pun membelokkan mobil ke arah kiri, tempat rumah kami berada di salah satu gang perumahan kami.

Memandang wajah Rudy, terbayanglah akan kedua orangtuanya beberapa tahun lalu, yang pergi susul-menyusul meninggalkan Rudy dan adiknya yang kala itu masih sangat kecil-kecil.

Ayah Rudy dan Burhan, sebutlah bernama Jimmy, pergi terlebih dulu pada tahun 2008. Sehari sebelum kematiannya, saya masih sempat menungguinya dan dia terlihat sangat kepayahan menghadapi sakitnya. Setahun kemudian, Sela istrinya menyusul, juga dengan derita yang tak terkira. Saya sempat menyaksikan Sela sudah linglung menjelang akhir hayatnya. Meski belum genap 35 usianya, tapi dalam sakitnya itu dia selalu terjatuh manakala sedang berjalan sendirian.

Mengenangkan Jimmy dan Sela, saya seperti membuka halaman buram dari perjalanan warga di perumahan kami. Catatan menyedihkan itu bermula pada hari Minggu (7/6/2009), saat tetangga saya, seorang perjaka berusia 20, meninggal. Orang-orang bilang Si Herman (bukan nama sebenarnya) terkena AIDS. Mula-mula saya menganggap kematian Herman lantaran penyakit kronis yang tak terobati karena ayahnya yang cuma buruh bangunan tak sanggup membiayai pengobatan. Tapi saat seseorang yang saya percaya mengabarkan Herman mati karena AIDS, terngangalah saya.

Wah, ini korban kelima! Ya, Herman adalah tetangga kelima saya yang mati karena HIV/AIDS. Sebuah "petaka" telah terjadi di permukiman yang saya huni, sebuah permukiman yang tak seberapa luas di wilayah Ciledug, Tangerang, Banten.

Kematian pertama dialami oleh seorang bapak muda yang tinggal sekitar 25 meter dari rumah saya. Sehari sebelum meninggal, saya sempat mengunjunginya dan mendengarkan keluh kesah tentang rasa sakit yang dideritanya. Kala itu saya tak berprasangka apa-apa tentang musabab sakitnya. Setahu saya, dia memang sukakeluyuran tiap malam. Keesokannya, ketika ayah dua anak balita itu meninggal, saya mulai bertanya-tanya, kenapakah cuma saya dan istri serta Pak RT yang datang melayat ketika si ayah muda itu meninggal.

Tiga hari kemudian saya baru mendapatkan jawaban ketika beberapa anak muda tetangga saya bercerita bahwa seorang penyanyi ternama datang mengunjungi keluarga almarhum. Dari anak-anak muda itu pula akhirnya saya tahu, Si Jimmy (bukan nama sebenarnya) semasa hidup adalah seorang BD (bandar narkoba), dan sang penyanyi ngetop itu pernah menjadi salah satu pelanggannya. Tapi saya masih belum ngeh dan "mendakwanya" terkena AIDS. Ah, Si Jimmy barangkali terkena hepatitis akut karena tertular lewat jarum suntik, begitu pikir saya.

Kala itu saya memang lebih berpikir tentang dua anak balita beserta istri yang tak bekerja, yang ditinggalkan almarhum. Kisah kematian Jimmy pun lewat begitu saja. Mulailah istri saya memberi dukungan kepada Sela, panggil saja begitu, istri almarhum. Diperkenalkannya Sela kepada juragan donat.

Mulailah Sela berjualan donat keliling kampung dengan berkendara sepeda. Saya dan istri bahagia melihat Sela yang semula suka sakit-sakitan kini jadi bugar. Bersepeda tiap hari dan uang mengalir dari keuntungannya berjualan donat; itulah kiranya yang membuatnya jadi sehat. Sela tak cuma bisa membiayai sekolah anak sulungnya yang kebetulan sekelas dengan anak bungsu saya, tapi juga bisa mengajak jalan-jalan kedua anaknya ke mal.

Enam bulan setelah menjalani hidup sebagai penjual donat, godaan pun datang. Sela rupanya tertarik membeli secara kredit sebuah sepeda motor. Istri saya sebetulnya menyarankan supaya Sela tetap bersepeda. Selain bisa berhemat juga menyehatkan dirinya. Tapi apa boleh buat, Sela lebih memilih membeli motor kreditan untuk mengantar anaknya bersekolah dan berkeliling menawarkan dagangan donatnya.

Apa yang kami khawatirkan pun terjadi. Sela mulai sakit-sakitan lagi. Karenanya, ia pun kerap absen menjajakan dagangan donatnya. Motor itu, selain menyebabkan Sela tidak pernah menggerakkan badannya lagi, juga telah merongrong jiwanya dengan belitan cicilan. Sakit Sela pun kian menjadi. Puncaknya, ia linglung dan kerap jatuh jika sedang berjalan sendiri.

Istri saya segera membawa Sela ke dokter, dan dokter menyarankan agar darah Sela diperiksa ke lab. Keluarga Sela yang sederhana itu pun tak mengerti apa gerangan yang tersurat pada hasil lab. Mulailah saya bergerilya, bertanya kepada beberapa teman aktivis yang peduli korban HIV. Hasilnya, Sela positif terkena virus HIV.

Sengaja saya dan istri menutupi kenyataan bahwa Sela terkena HIV kepada pihak keluarga. Kala itu Sela kondisinya sudah sangat payah. Sampai akhirnya, pihak keluarga meminta kepada kami untuk kembali mengantarkan Sela ke dokter. Nah, dari mulut dokter itulah akhirnya pihak keluarga tahu bahwa Sela positif terkena HIV. Seminggu kemudian, saat sedang berada di Yogya, saya mendapat kabar dari istri saya bahwa Sela telah meninggal.

Bukan wajah Sela yang terbayang, melainkan wajah dua anak kecil yang masih membutuhkan belaian kasih sayang dari kedua orangtuanya. Kini, dua anak laki-laki (yang sulung kelas III SD dan kecil kelas I SD) bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Yang sulung, meski diberi kesuburan badan, tapi, maaf, daya pikirnya kurang dibanding anak-anak sebayanya. Sementara itu yang kecil, meski diberi kecerdasan yang lebih dari si sulung, badannya kurus kering. Pernah saya menyarankan kepada keluarga Sela untuk memeriksakan darah kedua anak tersebut untuk mengetahui keduanya tertular ayah dan bundanya atau tidak. Tapi hingga kini saya tak tahu apa hasilnya.

Sepeninggal Sela, lima bulan kemudian saya dengar seorang anak muda di RT I meninggal. Setahu saya, anak muda—panggil saja Boim—pernah ditahan di LP Tangerang karena kasus narkoba. Seorang anak muda—panggil saja Tanto—yang juga pernah ditahan satu sel dengan Si Boim—bercerita jika Boim di dalam sel masih mengonsumsi narkoba jenis putaw.

Saat bercerita, Tanto pun sebetulnya dalam kondisi yang payah. Ujar Tanto, selama di sel, mereka biasa sharing jarum suntik ketika memakai putaw. "Saya juga ngga akan lama lagi, Oom," kata Tanto waktu itu.

"Maklum Oom, di sel yang namanya narkoba gampang didapat. Udah gitu, kalo kamiga ikut pesta putaw, bisa-bisa kami dikucilkan," kisah Tanto.

Benarlah, tiga bulan berlalu, Tanto pun menyusul Boim menghadap Sang Maha Hidup.

Nah, saat Herman meninggal hari Minggu kemarin, saya pun terkenang pada Boim, Tanto, Sela, Jimmy, dan terutama pada kedua anak Sela dan Jimmy yang masih kecil-kecil. Kepada Sela ketika masih hidup, saya pernah berterus terang bahwa ia dan suaminya adalah jenis orangtua yang biadab. Orangtua yang cuma mengejar kesenangan pribadi, tapi mengabaikan keluarga. Pun kepada Tanto semasa hidup, saya pernah menyarankan untuk segera meninggalkan barang haram jadah itu.

Begitulah, di tengah duka saya terhadap kematian "orang-orang bodoh" itu, saya mulai waswas. Sudah sedemikian parahnya lingkungan saya, kota saya, negara saya. Bayangkanlah, di dua RT dengan jumlah warga sekitar 80 KK, lima orang mati karena HIV. Bagaimanakah dengan komunitas yang lebih luas hingga ke bangsa ini. Barangkali benar apa yang dikatakan aktivis Baby Jim Aditya bahwa HIV adalah serupa fenomena gunung es. Sebab, setahu saya, kelima tetangga saya itu pun tak pernah tercatat di departemen kesehatan sebagai warga yang meninggal akibat HIV/AIDS.

Jadi, HIV/AIDS memang "telah sangat nyata tiba di halaman rumah kita". Marilah kita makin mempererat gandengan tangan kita untuk bersama-sama peduli terhadap ancaman ini.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2013/09/11/0607046/Kedua.Orangtuanya.Mati.karena.HIV/AIDS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar