Senin, 23 Juni 2014
5 selebritis yang hidup dengan HIV AIDS
Tak sedikit para tokoh, musisi dan selebritis dunia yang terjangkit virus mematikan ini. Meski banyak diantara mereka harus meregang nyawa di usia muda, tak sedikit pula yang mampu bertahan lama dan kemudian menjadi ikon untuk kampanye memerangi virus HIV/Aids. Dikumpulkan dari berbagai sumber, berikut 5 selebritis dengan kisah unik berkaitan dengan HIV/Aids.
1.Freddie Mercury
Siapa tak kenal Freddie Mercury, vokalis dari grup rock asal Inggris Queen ini dikenal memiliki karisma dan kejeniusan dalam bermusik. Berkatnya, Queen dikenal tak cuma di Inggris, tapi juga di seluruh dunia. Sosok angat ikonik, sehingga setelah ditinggal Queen tak lagi populer, meski sudah ada orang yang bertugas menggantikan posisi Freddie.
Freddie didiagnosis terjangkit HIV/Aids pada bulan April 1987 akibat komplikasi pneumonia bronkial. Namun hal ini tak terungkap sampai beberapa hari jelang kematiannya. Freddie meninggal pada 24 November 1991. Meninggalnya Freddie ini hanya berselang beberapa hari, setelah publik banyak membicarakan desas-desus penyanyi kelahiran Stone Town, Zanzibar (wilayah Tanzania, Afrika Timur), 5 September 1946 ini terjangkit virus HIV/Aids.
2.Liberace
Liberace, adalah pemain piano ternama yang dikenal dengan nama panggung Mr. Showmanship di Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai salah satu musisi fenomenal yang juga pernah berduet dengan Elvis Presley di Hotel Riviera di Las Vegas pada bulan November 1956. Tak banyak orang tahu soal kehidupan Liberace, bahkan kematiannya di usia 67 tahun pada 4 Februari 1987, dianggap karena masalah kesehatan.
Namun, setelah beberapa tahun berlalu setelah kematiannya, kabar tentang pria ini yang terinfeksi virus HIV/Aids akhirnya muncul juga. Melalui seorang sumber terdekatnya, Liberace ternyata telah didiagnosis positif HIV/Aids sejak beberapa tahun sebelum kematiannya.
3.John Holmes
Pria ini lahir pada 8 August 1944 dan dikenal sebagai salah satu aktor untuk beberapa judul film porno. Dalam menjalani profesinya, John mengklaim telah melakukan hubungan seksual dengan lebih dari 14.000 wanita. Pada tahun 1987, John telah bermain di 2500 film dewasa dan mendapat bayaran hingga $3,000. Hal ini pada kemudian membuat namanya dikenal sebagai bintang porno terproduktif pada saat itu.
Sayangnya, hal yang baginya sebuah ‘prestasi’ itu harus dibayarnya dengan vonis HIV/Aids pada Februari 1986. Ia kemudian meninggal pada 13 Maret 1988 di usia ke 43 tahun. Atas prestasinya di industri film porno, di hari pemakamannya, John mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award.
4.Gia Carangi
Gia Caragi dikenal sebagai seorang model populer di Amerika. Posenya sudah mulai menghias berbagai media massa sejak usianya baru menginjak 17 tahun. Sayangnya, popularitas Gia sebanding dengan gaya hidup bebas dan glamor.
Ketergantungan terhadap narkoba dan heroin, mewarnai perjalanan hidup wanita ini. Hingga pada akhirnya tahun 1980, dokter mendiagnosisnya terjangkit HIV/AIDS. Penularan virus ini diduga berasal dari penggunaan jarum (Untuk keperluan narkoba), yang tidak steril. 18 November 1986, di usia 26 tahun, Gia Carangi meninggal dunia akibat komplikasi penyakit AIDS. Ia merupakan selebriti wanita pertama yang diketahui meninggal karena AIDS.
5.Earvin “Magic” Johnson
Adalah salah satu pemain besar dalam kompetisi basket Amerika NBA sepanjang masa. Magic Johnson mendapati dirinya menderita HIV/Aids saat musim kompetisi NBA 1991-1992. Karena hal ini, ia kemudian menyatakan pensiun dini.
Namun keputusan untuk kembali berkompetisi di NBA kembali muncul pada tahun 1992. Ia didaulat sebagai salah satu pemain di perang bintang pada saat itu sebelum pada akhirnya kembali beristirahat. Pada tahun 1996 ia Come Back dan bermain di 32 pertandingan untuk LA Lakers, sebelum pada akhirnya pensiun untuk selamanya.
Johnson lebih beruntung, meski didiagnosis HIV/AIDS, sampai sekarang ia masih menjalani hidup yang relatif sehat. Ia kemudian didaulat sebagai tokoh dalam beberapa kampanye anti HIV/Aids dan sosialisasi seks aman.
Sumber : http://www.centroone.com/lifestyle/2012/11/5a/5-selebritis-yang-hidup-dengan-hiv-aids/
HIV AIDS telah nyata tiba di halaman rumah kita
Rudy kini sudah kelas II SMP. Badannya masih gemuk, lucu, dan menggemaskan. Tetapi, akalnya tidak sepanjang Burhan, adiknya yang selisih tiga tahun dengan kakaknya. Terus terang, saya berharap-harap cemas atas kedua anak itu. Moga-moga mereka tak terinfeksi HIV yang diturunkan oleh kedua orangtuanya. Jika tertular, berarti usia Rudy tinggal dua tahun lagi apabila mengacu pada perkiraan dokter yang menyebut inkubasi HIV/AIDS adalah 10 hingga 15 tahun.
Ah... membayangkan hal buruk yang mungkin bakal terjadi pada kedua anak itu, hati saya sungguh miris. Sebab, semenjak ditinggal mati kedua orangtuanya yang meninggal selisih setahun, baik Rudy maupun Burhan langsung menjadi bagian dari kami, menjadi anak-anak kami, warga RT 03 di sebuah perumahan di wilayah Ciledug, Tangerang. Kami secara bergotong-royong mengumpulkan sejumlah uang untuk mengurus keperluan sekolah dan kehidupan keduanya, kendati nenek dan saudara-saudara ibunya almarhum juga turut mengurusnya.
"Bagaimana sekolahmu, Rud?" saya membuka percakapan.
"He-he-he..."
"Bisa enggak mengikuti pelajaran?"
"He-he-he... bisa...."
Setelah percakapan yang banyak dibumbui ketawa Rudy, saya pun iseng bertanya, "Ini belok ke mana kita?"
"Ya ke kananlah...," jawab Rudy ragu.
"Kanan atau kiri?"
"Kkk kanan, ya kanan...," ujar Rudy sambil mengangkat kedua lengannya, seperti sedang bertanya kepada keduanya, jalan manakah yang harus dipilih untuk menuju ke rumahnya.
"Kanan atau kiri, Rud?"
"Ya ke kananlah...," kata Rudy sambil mengangkat tangan kirinya.
Dengan tersenyum sedih, saya pun membelokkan mobil ke arah kiri, tempat rumah kami berada di salah satu gang perumahan kami.
Memandang wajah Rudy, terbayanglah akan kedua orangtuanya beberapa tahun lalu, yang pergi susul-menyusul meninggalkan Rudy dan adiknya yang kala itu masih sangat kecil-kecil.
Ayah Rudy dan Burhan, sebutlah bernama Jimmy, pergi terlebih dulu pada tahun 2008. Sehari sebelum kematiannya, saya masih sempat menungguinya dan dia terlihat sangat kepayahan menghadapi sakitnya. Setahun kemudian, Sela istrinya menyusul, juga dengan derita yang tak terkira. Saya sempat menyaksikan Sela sudah linglung menjelang akhir hayatnya. Meski belum genap 35 usianya, tapi dalam sakitnya itu dia selalu terjatuh manakala sedang berjalan sendirian.
Mengenangkan Jimmy dan Sela, saya seperti membuka halaman buram dari perjalanan warga di perumahan kami. Catatan menyedihkan itu bermula pada hari Minggu (7/6/2009), saat tetangga saya, seorang perjaka berusia 20, meninggal. Orang-orang bilang Si Herman (bukan nama sebenarnya) terkena AIDS. Mula-mula saya menganggap kematian Herman lantaran penyakit kronis yang tak terobati karena ayahnya yang cuma buruh bangunan tak sanggup membiayai pengobatan. Tapi saat seseorang yang saya percaya mengabarkan Herman mati karena AIDS, terngangalah saya.
Wah, ini korban kelima! Ya, Herman adalah tetangga kelima saya yang mati karena HIV/AIDS. Sebuah "petaka" telah terjadi di permukiman yang saya huni, sebuah permukiman yang tak seberapa luas di wilayah Ciledug, Tangerang, Banten.
Kematian pertama dialami oleh seorang bapak muda yang tinggal sekitar 25 meter dari rumah saya. Sehari sebelum meninggal, saya sempat mengunjunginya dan mendengarkan keluh kesah tentang rasa sakit yang dideritanya. Kala itu saya tak berprasangka apa-apa tentang musabab sakitnya. Setahu saya, dia memang sukakeluyuran tiap malam. Keesokannya, ketika ayah dua anak balita itu meninggal, saya mulai bertanya-tanya, kenapakah cuma saya dan istri serta Pak RT yang datang melayat ketika si ayah muda itu meninggal.
Tiga hari kemudian saya baru mendapatkan jawaban ketika beberapa anak muda tetangga saya bercerita bahwa seorang penyanyi ternama datang mengunjungi keluarga almarhum. Dari anak-anak muda itu pula akhirnya saya tahu, Si Jimmy (bukan nama sebenarnya) semasa hidup adalah seorang BD (bandar narkoba), dan sang penyanyi ngetop itu pernah menjadi salah satu pelanggannya. Tapi saya masih belum ngeh dan "mendakwanya" terkena AIDS. Ah, Si Jimmy barangkali terkena hepatitis akut karena tertular lewat jarum suntik, begitu pikir saya.
Kala itu saya memang lebih berpikir tentang dua anak balita beserta istri yang tak bekerja, yang ditinggalkan almarhum. Kisah kematian Jimmy pun lewat begitu saja. Mulailah istri saya memberi dukungan kepada Sela, panggil saja begitu, istri almarhum. Diperkenalkannya Sela kepada juragan donat.
Mulailah Sela berjualan donat keliling kampung dengan berkendara sepeda. Saya dan istri bahagia melihat Sela yang semula suka sakit-sakitan kini jadi bugar. Bersepeda tiap hari dan uang mengalir dari keuntungannya berjualan donat; itulah kiranya yang membuatnya jadi sehat. Sela tak cuma bisa membiayai sekolah anak sulungnya yang kebetulan sekelas dengan anak bungsu saya, tapi juga bisa mengajak jalan-jalan kedua anaknya ke mal.
Enam bulan setelah menjalani hidup sebagai penjual donat, godaan pun datang. Sela rupanya tertarik membeli secara kredit sebuah sepeda motor. Istri saya sebetulnya menyarankan supaya Sela tetap bersepeda. Selain bisa berhemat juga menyehatkan dirinya. Tapi apa boleh buat, Sela lebih memilih membeli motor kreditan untuk mengantar anaknya bersekolah dan berkeliling menawarkan dagangan donatnya.
Apa yang kami khawatirkan pun terjadi. Sela mulai sakit-sakitan lagi. Karenanya, ia pun kerap absen menjajakan dagangan donatnya. Motor itu, selain menyebabkan Sela tidak pernah menggerakkan badannya lagi, juga telah merongrong jiwanya dengan belitan cicilan. Sakit Sela pun kian menjadi. Puncaknya, ia linglung dan kerap jatuh jika sedang berjalan sendiri.
Istri saya segera membawa Sela ke dokter, dan dokter menyarankan agar darah Sela diperiksa ke lab. Keluarga Sela yang sederhana itu pun tak mengerti apa gerangan yang tersurat pada hasil lab. Mulailah saya bergerilya, bertanya kepada beberapa teman aktivis yang peduli korban HIV. Hasilnya, Sela positif terkena virus HIV.
Sengaja saya dan istri menutupi kenyataan bahwa Sela terkena HIV kepada pihak keluarga. Kala itu Sela kondisinya sudah sangat payah. Sampai akhirnya, pihak keluarga meminta kepada kami untuk kembali mengantarkan Sela ke dokter. Nah, dari mulut dokter itulah akhirnya pihak keluarga tahu bahwa Sela positif terkena HIV. Seminggu kemudian, saat sedang berada di Yogya, saya mendapat kabar dari istri saya bahwa Sela telah meninggal.
Bukan wajah Sela yang terbayang, melainkan wajah dua anak kecil yang masih membutuhkan belaian kasih sayang dari kedua orangtuanya. Kini, dua anak laki-laki (yang sulung kelas III SD dan kecil kelas I SD) bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Yang sulung, meski diberi kesuburan badan, tapi, maaf, daya pikirnya kurang dibanding anak-anak sebayanya. Sementara itu yang kecil, meski diberi kecerdasan yang lebih dari si sulung, badannya kurus kering. Pernah saya menyarankan kepada keluarga Sela untuk memeriksakan darah kedua anak tersebut untuk mengetahui keduanya tertular ayah dan bundanya atau tidak. Tapi hingga kini saya tak tahu apa hasilnya.
Sepeninggal Sela, lima bulan kemudian saya dengar seorang anak muda di RT I meninggal. Setahu saya, anak muda—panggil saja Boim—pernah ditahan di LP Tangerang karena kasus narkoba. Seorang anak muda—panggil saja Tanto—yang juga pernah ditahan satu sel dengan Si Boim—bercerita jika Boim di dalam sel masih mengonsumsi narkoba jenis putaw.
Saat bercerita, Tanto pun sebetulnya dalam kondisi yang payah. Ujar Tanto, selama di sel, mereka biasa sharing jarum suntik ketika memakai putaw. "Saya juga ngga akan lama lagi, Oom," kata Tanto waktu itu.
"Maklum Oom, di sel yang namanya narkoba gampang didapat. Udah gitu, kalo kamiga ikut pesta putaw, bisa-bisa kami dikucilkan," kisah Tanto.
Benarlah, tiga bulan berlalu, Tanto pun menyusul Boim menghadap Sang Maha Hidup.
Nah, saat Herman meninggal hari Minggu kemarin, saya pun terkenang pada Boim, Tanto, Sela, Jimmy, dan terutama pada kedua anak Sela dan Jimmy yang masih kecil-kecil. Kepada Sela ketika masih hidup, saya pernah berterus terang bahwa ia dan suaminya adalah jenis orangtua yang biadab. Orangtua yang cuma mengejar kesenangan pribadi, tapi mengabaikan keluarga. Pun kepada Tanto semasa hidup, saya pernah menyarankan untuk segera meninggalkan barang haram jadah itu.
Begitulah, di tengah duka saya terhadap kematian "orang-orang bodoh" itu, saya mulai waswas. Sudah sedemikian parahnya lingkungan saya, kota saya, negara saya. Bayangkanlah, di dua RT dengan jumlah warga sekitar 80 KK, lima orang mati karena HIV. Bagaimanakah dengan komunitas yang lebih luas hingga ke bangsa ini. Barangkali benar apa yang dikatakan aktivis Baby Jim Aditya bahwa HIV adalah serupa fenomena gunung es. Sebab, setahu saya, kelima tetangga saya itu pun tak pernah tercatat di departemen kesehatan sebagai warga yang meninggal akibat HIV/AIDS.
Jadi, HIV/AIDS memang "telah sangat nyata tiba di halaman rumah kita". Marilah kita makin mempererat gandengan tangan kita untuk bersama-sama peduli terhadap ancaman ini.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2013/09/11/0607046/Kedua.Orangtuanya.Mati.karena.HIV/AIDS
10 penyakit seks menular
1. Kutil Kelamin
Penyakit ini tidak hanya bisa menular melalui hubungan seks. Kontak langsung dengan kulit juga bisa menyebabkan virus HPV (Human Papiloma Virus) menyebar sehingga menyebabkan penyakit kutil kelamin ini. Beberapa tipe kutil kelamin biasanya tidak berbahaya. Tapi ada juga beberapa yang bisa menyebabkan kanker serviks atau anus. Ciri-ciri penyakit ini munculnya bintil-bintil berwarna kemerahan dan bisa semakin membesar seperti tumor.
2. Kutu Kelamin
Bukan hanya rambut di kepala yang bisa terkena kutu. Hewan kecil tersebut juga dapat menyerang area kelamin yaitu di bulu pubic. Jenis kutu yang hidup di sana adalah Pubis Phthirus dan bentuknya seperti kepiting sehingga penyakit ini kerap disebut crabs. Kutu-kutu tersebut bisa dibasmi dengan lotion khusus. Gejala orang yang terkena kutu ini merasakan gatal yang intens di area bulu pubic. Menemukan adanya telur-telur kecil di area yang sama.
3. Gonorrhea
Gonorrhea atau sering disebut kencing nanah disebabkan oleh bakteri. Jika tidak diobati, penyakit ini bisa menyebabkan infertilitas pada pria maupun wanita. Untuk menghentikan infeksi, diperlukan konsumsi antibiotik sesuai resep dokter. Gejala mereka yang terkena penyakit ini adalah seperti namanya, pada pria akan keluar nanah saat buang air kecil. Sedangkan pada wanita, akan merasakan sakit di vagina dan panggul. Dia juga bisa mengalami spotting atau munculnya bercak. Gejala umum lainnya adalah merasakan sakit seperti terbakar saat buang air kecil.
4. Sifilis atau Raja Singa
Sebagian besar orang tidak menyadari gejala awal sifilis. Padahal penyakit ini cukup berbahaya. Tanpa pengobatan yang benar, penderita sifilis bisa mengalami kelumpuhan, kebutaan atau bahkan meninggal. Sifilis sebenarnya bisa diobati dengan antibiotik sesuai resep dokter. Gejala sifilis biasanya penderita akan merasakan bengkak tapi tidak terasa sakit di area genital atau anus. Penyakit ini akan semakin menyebar seiring kontak lansung dengan area yang bengkak atau kemerahan. Bercak kemerahan juga bisa timbul di beberapa bagian tubuh. Demam, kerontokan rambut dan kelelahan termasuk gejala lain dari sifilis. Pada tahap yang sudah parah, kerusakan pada organ tubuh seperti jantung, otak, hati, syaraf dan mata.
5. Chlamydia
Chlamydia merupakan penyakit menular seksual yang bisa menyebabkan ketidaksuburan jika tidak segera diobati dengan mengonsumsi antibiotik. Sayangnya seringkali orang tidak menyadari gejala penyakit ini. Pada pria, mereka yang terkena Chlamydia akan merasakan seperti terbakar dan gatal di ujung penis. Saat buang air kecil juga akan terasa sakit. Sedangkan pada wanita, dia akan merasa gatal di area vagina, berbau dan merasa sakit saat berhubungan seks serta buang air kecil.
6. Herpes
Sebagian besar kasus penyakit herpes disebabkan oleh virus yang disebut HSV-2 (Herpes Simplex Virus). Virus ini bisa menular melalui hubungan seksual atau kontak langsung dengan area yang terkena herpes. Saat terkena herpes, penderita akan merasakan gatal dan sakit di area genital, anus dan paha. Lama-kelamaan akan timbul bintil-bintil merah di area yang terkena herpes dan bisa pecah sehingga luka semakin melebar. Gejala herpes pada pria akan terlihat di bagian luar kelenjar dan batang penis, buah zakar atau daerah anus. Sedangkan pada wanita, lebih tersembunyi, pada daerah klitoris, labia minora, labia majora dan leher rahim.
7. HIV/AIDS
HIV menyebar melalui hubungan seks yang tidak terlindungi atau tanpa kondom, berbagi jarum suntik atau lahir dari ibu yang terinfeksi virus tersebut. Gejala dari penyakit ini bisa tidak diketahui selama bertahun-tahun. Sehingga diperlukan adanya tes darah untuk mengetahui ada atau tidaknya virus tersebut dalam tubuh. Pengobatan yang terus-menerus perlu dilakukan untuk mencegah penyakit yang makin serius karena virus ini. Gejala awal terkena HIV yang umumnya tidak dirasakan adalah demam, pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kepala, ruam di kulit dan mudah lelah.
8. Trikomoniasis
Trikomoniasis disebabkan oleh parasit yang menular melalui kontak seksual. Penyakit ini bisanya menyerang pria di area penis dan wanita di area vagina. Pria akan merasakan sakit seperti terbakar saat buang air kecil. Sedangkan wanita akan timbul bau tidak sedap dari area genitalnya. Dia juga akan merasakan gatal dan sakit saat buang air kecil atau berhubungan seks. Obat yang diresepkan dokter bisa mengobati penyakit ini.
9. Chancroid atau Syankroid
Penyakit ini ditularkan oleh bakter dan cukup umum di kawasan Afrika dan Asia. Area genital akan terasa sakit saat infeksi bakteri menyebar karena hubungan seks. Antibiotik bisa menyembuhkan infeksi tersebut. Saat terkena penyakit ini, pada pria, dia akan merasakan sakit di penis dan kemudian timbul benjolan yang bisa berisi nanah dan pecah. Pada wanita rasa sakit dan benjolan akan timbul di vagina bagian luar dan dalam.
10. Pelvic Inflammatory Disease (PID)
PID merupakan komplikasi dari penyakit menular seksual yang tidak diobati, terutama penderita chlamydia dan gonorrhea. Penyakit ini timbul ketika bakteri menyebar dan menginfeksi uterus dan organ reproduksi wanita lainnya. Diperlukan pengobatan segera untuk mencegah kesuburan wanita menjadi terganggu. Gejala penyakit ini merasakan sakit di perut bagian bawah, demam, sakit pinggang, sakit saat bercinta dan buang air kecil serta spotting.
(dat06/wolipop)
Sumber : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=285016:10-penyakit-seks-menular&catid=61:seks&Itemid=136
Senin, 09 Juni 2014
WGMP competition !
Kamis, 24 April 2014
Data statistik HIV AIDS di Indonesia (sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI 14 februari 2014)
Cerdas dalam kenali HIV AIDS !
Stigma dan diskriminasi HIV AIDS
bentuk-bentuk lain dari stigma dan diskriminasi dapat berupa rasisme atau pandangan berdasarkan penampilan fisik , bahkan kebencian atau penilaian negatif terhadap orang-orang yang di anggap terlibat dalam kegiatan yang tidak dapat di terima secara sosial seperti prostitusi dan penggunaan narkoba
Dengan adanya stigma negatif tentang hiv aids maka upaya untuk memerangi epidemi hiv aids secara keseluruhan akan sangat terganggu bahkan sulit untuk orang dengan hiv aids
Untuk mencoba berdamai dengan hiv dan mengelola penyakit mereka pada tingkat pribadi
Pada tingkat nasional, stigma yang terkait dengan HIV dapat mencegah pemerintah untuk cepat mengambil tindakan efektif terhadap epidemi, sementara pada tingkat pribadi dapat membuat orang enggan untuk mengakses tes HIV, pengobatan dan perawatan.
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stigma HIV / AIDS antara lain:
- HIV / AIDS adalah penyakit yang mengancam jiwa, dan karena itu masyarakat sangat bereaksi dalam menanggapinya
- HIV kuat dikaitkan dengan perilaku (seperti homoseksualitas, kecanduan narkoba, prostitusi atau pergaulan bebas)
- Banyak orang terinfeksi HIV melalui hubungan sex, yang seringkali meninggalkan beban moral
- Kurangnya pengetahuan dan banyak informasi yang tidak akurat tentang bagaimana HIV ditularkan menciptakan perilaku irasional dan salah paham
- HIV seringkali di anggap sebagai hasil dari perilaku yang tidak bertanggung jawab
- kepercayaan pribadi atau keyakinan moral membuat beberapa kelompok percaya bahwa terinfeksi HIV merupakan hukuman moral terhadap perilaku menyimpang yang di lakukan
Fakta bahwa HIV / AIDS adalah penyakit yang relatif baru juga memberikan kontribusi terhadap stigma yang melekat padanya. Rasa takut yang mengelilingi epidemi yang muncul pada 1980-an masih segar dalam pikiran banyak orang. Pada saat itu sangat sedikit yang diketahui tentang risiko penularan HIV, yang membuat orang takut dari mereka yang terinfeksi karena takut tertular.
Dari awal epidemi AIDS serangkaian alasan yang kuat yang digunakan yang diperkuat dan disahkan stigmatisasi.
HIV / AIDS sebagai hukuman (misalnya untuk perilaku tidak bermoral)
HIV / AIDS sebagai kejahatan (misalnya dalam kaitannya dengan korban yang tidak bersalah dan bersalah)
HIV / AIDS sebagai perang (misalnya dalam kaitannya dengan virus yang harus diperangi)
Kamis, 17 April 2014
True story : Pesona Suksma Ratri "Virus ini adalah sahabat saya"
Suksma Ratri adalah Pendiri akun Twitter @NSPR12, HIV (+) perempuan, pembela hak-hak perempuan, HIV/AIDS, migran, dan kesetaraan gender. Pengalaman hidupnya menjadikannya sebagai seorang konselor, mediator. Dia juga aktif di komunitas penulis. Beliau pernah berumah tangga dengan seorang suami ODHA (Orang dengan HIV atau AIDS) dan pada akhirnya beliau menjadi salah satu dari ODHA (Orang dengan HIV atau AIDS).
Suksma berkata, “Bicara soal perjalanan hidup, saya sering bingung harus mulai dari mana. Saya adalah seorang anak tunggal dari keluarga biasa saja, tapi saya selalu merasa bahwa saya mempunyai hidup yang sangat berwarna. Sejak masa kuliah, saya sudah sering membantu adik-adik kelas untuk menyelesaikan konflik pribadi, seperti kabur dari rumah, kecanduan narkoba sampai hamil di luar nikah dan semua datang kepada saya untuk minta bantuan. Saya selalu dengan senang hati membantu mereka. Saya tidak pernah segan meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka. Orang tua saya tidak kaya, tapi kami kaya akan pengalaman. Ibu selalu mendorong saya untuk membantu teman.”
“Tahun 2001 saya diterima bekerja di sebuah hotel bintang lima di Bandung sebagai PR Officer. Di hotel inilah saya bertemu dengan almarhum/eks suami. Dia adalah seorang trainee yang magang di hotel tempat saya bekerja. Sikapnya yang baik, ramah, dan lucu membuat saya kepincut. Meskipun banyak orang yang menertawakan, kami tetap memutuskan untuk pacaran. Dalam setahun masa pacaran, saya melihat dia sangat terbuka soal masa lalunya yang kelam. Dia menceritakan semuanya, mulai dari masalah kecanduannya hingga pengalamannya masuk penjara karena dia menjadi Bandar Narkoba. Saya mencintai dia dengan sepenuh hati. Dan bagi saya, masa lalu yang kelam bukan menjadi masalah selama hal itu tidak terulang lagi.”
“Masa pacaran kami sudah tentu banyak pasang surutnya. Setelah putus-sambung beberapa kali, dia akhirnya melamar dan saya menerimanya. Dia berkata kepada saya bahwa dia merasa aman, ingin memperbaiki diri, hidup lurus dan ingin memiliki seseorang yang mengingatkannya ketika dia mulai kacau. Dan orang tersebut adalah saya. Saya luluh, terharu dan merasa dibutuhkan persis seperti ketika adik-adik kelas meminta bantuan saya untuk menjaga mereka.”
“Tiga bulan sebelum menikah, orang tuanya meminta saya pindah ke rumah mereka dengan alasan agar saya bisa beradaptasi dengan keluarga. Saya pun menurut. Dua bulan sebelum kami menikah, tiba-tiba kontrak kerjanya sebagai Casual Worker di hotel tempat kami bekerja tidak diperpanjang. Sebagai perempuan modern, saya tidak mempermasalahkan siapa yang menjadi tulang punggung keluarga. Selama saya melihat usahanya untuk mencari pekerjaan, saya tidak keberatan menanggung semua biaya untuk keperluan sehari-hari.”
“Sedikit demi sedikit konflik mulai datang, terutama untuk urusan patungan biaya pernikahan. Keluarganya tidak bisa memberi banyak sumbangan namun banyak maunya dan ini membuat saya agak kesal. Sementara keluarga saya mempunyai aturan bahwa pihak yang menyumbang lebih banyak, yang akan menentukan keputusan akhirnya; dalam hal ini, saya dan keluarga saya.”
“Suatu hari, saya teringat ceritanya tentang bagaimana dia dulu sering berbagi jarum suntik dengan teman-temannya yang sesama pecandu. Saya yang sudah memiliki sedikit pengetahuan tentang penularan HIV, mengajaknya untuk melakukan tes HIV bersama sebelum menikah. Mendengar permintaan saya, dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa dia sudah pernah melakukan tes dan hasilnya negatif. Saya meminta dia untuk menunjukkan hasil tesnya, akan tetapi yang saya terima hanya surat pembebasan dari penjara. Dia berkilah hasil tes tersebut telah hilang. Saya sebenarnya masih ragu, tapi saya berpikir lagi bahwa selama ini dia sudah terbuka dan jujur tentang masa lalunya dan pernah masuk ke penjara. Akhirnya saya memutuskan untuk mempercayainya, meski hati saya masih diliputi sedikit keraguan.”
“Berbagai konflik yang berkaitan dengan finansial untuk pernikahan pun makin hari semakin banyak. Kami sering bertengkar. Ketika adu mulut, dia sering memaksakan kehendak dan keluarganya dengan berkata bahwa orang tuanya sudah baik mau menampung setelah menikah. Puncaknya adalah saat dia berkata bahwa kalkulasi biaya pernikahan yang saya buat kurang satu juta dari jumlah yang diberi orang tuanya. Saya bersikeras bahwa itu jumlah yang saya terima tetapi dia tetap berkeras hati. Masalah ini tidak selesai dan menggantung begitu saja. Selepas tuduhan itu, keraguan di hati saya tumbuh semakin besar seiring dengan semakin dekatnya hari pernikahan kami.”
“Tepatnya seminggu sebelum hari pernikahan, saya merasa tidak tahan lagi dan menelepon tante saya, adik bungsu Papa yang paling dekat dengan saya. Belum sempat saya mengatakan sesuatu, dia masuk ke kamar dan duduk di seberang saya. Sementara tante saya sudah mengangkat telepon, dia memandang saya dengan tatapan curiga. Saya tidak bisa mengungkapkan sesuatu kepada Tante dan hanya bisa menangis. Untung tante saya cepat tanggap. Dia menuntun pembicaraan dan saya cukup menjawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’ saja.”
“Lewat pembicaraan tersebut, Tante mengetahui kejadian yang saya alami. Beliau sempat berkata, ‘jika kamu tidak sreg, batalkan saja.’ Tapi saya menolak karena saya berpikir bahwa laki-laki itu adalah pilihan saya dan tidak dijodohkan. Saya sendiri yang menerima lamarannya maka saya harus tanggung resikonya. Saya tidak ingin mencoreng nama baik keluarga dengan membatalkan pernikahan seminggu sebelum hari ‘H’. Sebelum mengakhiri pembicaraan, tante berpesan, ‘Nduk, kalau hanya tengkar mulut, tahan! Tapi kalau tangan dan kakinya sudah ikut bicara, biarpun baru menikah sehari, kamu tinggalkan dia.’”
“Singkat cerita, semua persoalan seolah larut sampai akhirnya kami menikah. Setelah tiga minggu menikah, saya hamil. Semua orang bersuka cita mendengar berita ini. Tidak lama kebahagiaan itu saya rasakan, karena dia mulai mengontrol saya dalam segala hal. Dia berkata bahwa saya boros sehingga kartu kredit dan kartu ATM saya diambilnya. “Mulai sekarang, aku yang atur keuangan kita”. Saya ternganga. Saya yang bekerja sampai jungkir balik, dia yang memegang keuangannya. Tapi saya hanya bisa diam. Kemudian saya dijatah sehari hanya 15,000 rupiah. Belanja bulanan harus dengan dia. Ingin membeli barang harus seizin dia. Absurd rasanya karena saya yang selalu pegang uang sendiri. Tapi saya menurut saja. Kenapa? Karena setiap kali saya protes, dia selalu berkata, istri harus nurut apa kata suami. Kamu mau jadi istri durhaka? Dan argumen itu dia gunakan untuk manipulasi banyak hal. Setiap kali saya melawan, dia akan berkata, “Kamu memang istri durhaka! Kamu tidak nurut suami ya?” Akhirnya saya diam saja dan malas untuk ribut. Saya membiarkan dia melakukan apapun yang dia inginkan.”
“Ketika kehamilan saya masuk bulan ke-4, saya mulai melihat tanda-tanda suami memakai putaw lagi. Sehari setelah menikah, dia merengek minta dibelikan HP dari uang hadiah pernikahan kami. Saya turuti karena di rumah tidak ada telepon. Tapi meski demikian, saya tetap kesulitan menghubunginya. Seringkali HP-nya nonaktif atau berada di luar jangkauan. Setiap kali saya bertanya ketika dia di rumah, dia selalu berkata bahwa HP-nya aktif dan tidak ada panggilan masuk. Selain melihat tanda-tanda sakaw pada dirinya, saya juga sering menemukan plastik-plastik kecil bekas paketan putaw di dalam kamar, termasuk di dalam boks tissue hadiah perkawinan. Tapi setiap kali saya bertanya, dia selalu berkata, Itu bekas dulu. Aneh!”
“Saat kehamilan saya masuk bulan ke-5, dia belum juga mempunyai pekerjaan. Saya masih tetap bekerja sebagai PR Officer dan kadang harus lembur atau masuk di hari libur saat ada event. Dia mulai sering protes dan melarang saya masuk kerja atau lembur. Saya selalu berkata bahwa itu resiko pekerjaan. Dia mulai sering marah-marah tidak jelas dan menyebut saya arogan karena saya mempunyai jabatan di hotel bintang 5, sementara dia hanya pengangguran.”
“Ketika marah, dia sering memukul saya. Kadangkala melempar barang ke arah saya, istrinya yang sedang hamil 5 bulan. Semakin hari saya semakin sering melihat tanda-tanda sakaw pada suami. Hingga suatu hari saya menemukan suntikan bekas di bawah karpet. Saya tidak langsung mengkonfrontasi, tapi saya simpan sebagai barang bukti.”
‘Kehamilan saya masuk bulan ke-6. Ketika pulang kerja, saya melihat dia berkeringat. Ada bercak darah di sprei dan lengannya. Saya sakit hati karena uang hasil kerja keras saya dipakai untuk membeli putaw. Saya tidak tahan dan langsung menuduh dia pakai lagi. Awalnya dia tidak mengakui. Saya mengambil bekas suntikannya dan melempar ke mukanya. Dia marah dan tidak terima perlakuan tersebut sehingga saya ditendang sampai jatuh dari tempat tidur. Kami beradu fisik sampai orang tuanya masuk dan memisahkan kami.”
“Ibunya menyeretnya ke kamar utama. Lalu mereka berbicara selama satu jam lebih. Keluar dari kamar, dia menghampiri saya dan menangis meraung-raung seperti anak kecil. Kemudian bersujud di kaki saya dan meminta ampun kepada saya atas apa yang telah dia lakukan sebelumnya. Awalnya saya diam saja. Tapi mengingat saya sedang mengandung anaknya, saya luluh. Saya memaafkan dia dan kami melanjutkan hidup bersama.”
“Di pertengahan kehamilan saya yang memasuki bulan ke-7, saya harus menjalani operasi Caesar karena ketuban saya pecah dan airnya keluar terus. Dokter kandungan bertanya, apakah saya banyak jalan, naik-turun tangga atau pernah jatuh? “Saya terlalu banyak jalan,” jawabku. Seluruh biaya operasi dan rumah sakit saya tanggung sendiri. Keluarga suami tidak menyumbang sepeser pun. Bahkan suami tidak menunggui saya ketika operasi berlangsung, hanya ibu yang mendampingi saya. Alasan suami karena dia baru mulai bekerja di tempat baru, sehingga segan minta libur. Selama dua minggu saya di rumah sakit, dia hanya datang menjenguk lima kali dan tidak pernah menginap. Ibu merasa ada yang janggal, tapi beliau diam saja karena terlalu excited dengan kelahiran Srikandhi, cucu pertamanya. Saya berharap dengan kehadiran Srikandhi akan mengubah situasi antara kami.”
“Well, memang ada perubahan. Tapi kecil dan hanya sebentar saja. Bila sebelumnya dia sering marah karena menganggur dan menuduh saya sombong, sekarang dia marah karena gajinya jauh lebih kecil dari gaji saya. Padahal sumpah demi Tuhan, saya tidak pernah mempermasalahkan berapa pun gaji yang diterimanya. Lalu dia mulai bersikap kasar lagi kepada saya. Dipukul atau dilempar barang sudah menjadi makanan sehari-hari saya. Tapi dia cerdik, karena selalu memukul saya di tempat-tempat yang tidak terlihat sehingga orang tidak akan tahu. Setiap kali mengantar saya ke kantor, dia sangat mesra. Semua rekan kerja saya selalu memuji-muji dia sebagai suami yang romantis.”
“Memasuki tahun ke-2 pernikahan kami, saya mulai merasa terkekang karena tidak diizinkan keluar dengan teman. Saya juga tidak boleh memiliki teman lelaki dan menerima barang dari lelaki (meski pun ketika saya berulang tahun). Puncaknya, pada suatu pagi saya menyatakan bahwa SD saya akan mengadakan reuni dan kami sepakat untuk datang tanpa membawa pasangan. Dia marah dan mengancam akan menceraikan saya jika saya bersikeras pergi. Saya tetap pergi. Sepulang dari reuni, saya membawa sebuah buku, hadiah dari teman lama, Kerudung Merah Krimizi karya Remy Silado. Dia tidak senang melihat saya membawa pulang pemberian orang, lalu memukuli saya seperti biasanya. Saya memang diam, tapi kali ini otak saya mulai berputar mencari cara untuk keluar.”
“Keesokan paginya, ketika sedang berdandan, suami melarang saya pergi bekerja. Saya tentu saja menolak. Dengan mudah saya menjawab, aku harus bekerja. Dia kalap dan menyiram air panas yang disediakan untuk menyeduh susu anak ke muka saya. Untung air tersebut bukan air mendidih. Saya diam saja, lalu mengeringkan wajah dan rambut. Memulas make up lagi dan berangkat kerja. Singkat cerita, sepulang kerja hari itu juga saya pindahkan semua barang-barang ke mobil boks sewaan, membawa anak saya keluar dari rumah neraka dan pulang ke rumah ibu.”
“Lebaran tahun 2005, kami sudah pisah rumah. Kami sepakat bahwa hari pertama Srikandhi berlebaran dengan saya dan hari kedua dengan keluarganya. Tiba-tiba dia datang pada Lebaran hari pertama dan memaksa membawa Srikandhi ke rumahnya. Saya marah dan ketika akan merebut Srikandhi dari gendongannya, dia menendang perut saya sehingga saya jatuh membentur tembok. Dia menendang saya di depan ibu dan disaksikan langsung oleh beliau. Akhirnya Mama memutuskan untuk menemani Srikandhi ke rumah orangtua suami dan berjanji akan pulang beberapa jam kemudian. Tiga jam terasa seperti tiga tahun.”
“Ketika pulang, Mama menitipkan Srikandhi kepada tetangga lalu beliau menemui saya di dalam rumah dan berkata, “Cerai sekarang juga! Mama nggak ridho!” Ah, kemarahan Mama itu seperti restu yang paling saya tunggu. Tahun 2005 kami resmi bercerai. Kami menikah bulan Maret dan bercerai di bulan Maret juga. Tahun 2006 saya mendapat kabar bahwa dia sakit. Lalu tiba-tiba saya menerima SMS dari dia, Bunda, kamu dan Srikandhi tes HIV ya, tolong. Aku sudah test, aku positif. Begitu isi SMS itu. Apa yang saya rasakan? Panik? Tidak. Saya sudah menduganya.”
“Dua hari kemudian saya membawa Srikandhi untuk tes HIV di sebuah rumah sakit. Hasilnya keluar sehari setelah tes. Konselor yang menangani saya memberitahu bahwa anak saya negatif. Saya? Positif. Saya tidak kaget, tapi saya marah sekali waktu itu. Saya tidak marah karena tertular. Sama sekali tidak! Saya marah karena saya sudah dibohonginya mentah-mentah.”
“Hal pertama yang saya lakukan setelah mengetahui hasilnya adalah memberitahu teman-teman dekat saya. Ada lima orang teman dekat saya waktu itu. @bundadi dan @paDE22 adalah dua di antaranya. Saya gambling saja. Saya sudah mendengar bagaimana stigma terhadap ODHA. Tapi saya harus jujur kepada mereka. Mereka berhak tahu. Jika mereka tidak ingin berteman dengan saya, saya bisa mengerti. Di luar dugaan, setelah saya mengungkapkan semuanya, tidak ada yang memutuskan tali persahabatan hingga saat ini.”
“Pertengahan tahun 2006, saya diterima bekerja di @RumahCemara sebagai Manajer Kasus. Pekerjaan sebagai PR Office saya tinggalkan dan mulai bekerja sebagai MK. Srikandhi tidak pernah mengingat bagaimana wajah ayahnya karena selepas perceraian kami, mantan suami tidak pernah datang menjenguk, apalagi memberi tunjangan. Di luar dugaan, ternyata mantan suami adalah klien dampingan di Rumah Cemara.”
“Rekan sesama MK yang mendampinginya pernah melihat foto Srikandhi, lalu mengajak saya bicara. Keadaannya sudah buruk, sempat dementia dan tidak ingat siapa pun kecuali ibu dan anaknya. Dia ingin bertemu anaknya, Srikandhi. Saya seorang pendendam. Dan saat itu saya belum bisa memaafkan perlakuannya kepada saya. Bukan karena virus yang ditularkannya kepada saya, tapi penyebab kami bercerai adalah KDRT. Bahkan saya tes HIV baru setelah kami cerai. Hati saya beku dan menolak membawa Srikandhi untuk menjenguknya. Dalam hati sempat berpikir, biar dia tahu rasa! Rekan MK saya hanya berkata, ‘Saya mengerti perasaan kamu. Tapi tolong kamu pikirin lagi atas nama kemanusiaan.’”
“Setelah berpikir lama dan berkonsultasi dengan keluarga, akhirnya saya mengalah dan membawa Srikandhi beserta rekan MK untuk menjenguk mantan suami. Apa yang saya lihat di hadapan saya adalah sesuatu yang di luar dugaan. Srikandhi tidak mau dekat-dekat dengan ayahnya karena takut. Dia tidak mengenali saya. Dia ingat saya, ketika saya masih kerja di hotel. Bukan sebagai mantan istrinya. Memorinya sudah kacau. Saya dan Srikandhi hanya satu kali menjenguknya. Srikandhi trauma dan tidak mau ke sana lagi. Saya tidak bisa memaksa.”
“Selang setahun dari kejadian itu, saya mendengar kabar bahwa dia meninggal dunia. Ada perasaan aneh menyusupi hati saya ketika menerima kabar itu. Saya merasa sejuk, lega, lepas, dan ringan. Awalnya saya menolak mentah-mentah ajakan Mama untuk datang ke pemakaman tersebut. Tapi Mama berkata, “Terakhir kali. Setelah ini kamu tidak akan terganggu lagi.” Saya menurut apa kata Mama, tapi saya tidak mau mendekat ke liang lahatnya. Saya berdiri di kejauhan dan memastikan laki-laki itu benar-benar sudah meninggal dunia.”
“Saya tidak pernah menangisi kondisi saya yang tertular HIV dari alm mantan suami. Air mata kadang masih turun jika mengingat kebohongannya. Kadang saya bertanya kepada diri sendiri, kenapa dulu saya mau menikah dengannya? Sok pahlawan! Itu jawaban yang saya dapat. Saya begitu ingin menyelamatkannya dan ingin mengajaknya terlepas dari narkoba. Tapi saya tidak pernah sudi meneteskan air mata untuk kematiannya. Sadis? Mungkin. Saya tidak peduli karena dia sudah menyakiti hati saya dan alm mantan suami adalah pelaku KDRT bukan karena dia pecandu. Walaupun dia bukan pecandu, saya rasa dia tetap akan melakukan KDRT.”
“Sahabat-sahabat saya pernah bertanya, kenapa saya tidak melabrak alm mantan suami ketika saya tahu bahwa dia mewariskan virus itu kepada saya. Saya selalu balik tanya, ‘Buat apa? Buang waktu, buang energi dan marah kepadanya tidak membuat status saya berubah jadi negatif lagi. Jadi lebih baik saya salurkan energi itu ke arah yang lebih positif saja.’”
“Sampai saat ini saya tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari siapa pun sehubungan dengan status HIV saya. Dari awal saya selalu terbuka dan tidak ada yang ditutupi. Saya tetap bisa beraktivitas seperti biasa dan teman-teman tetap menjadi teman saya. Saya juga memiliki pasangan yang statusnya negatif. Kepada dua sahabat saya @bundaDI dan @vkariuzha , saya selalu berkata jika ada yang bertanya soal status HIV saya, katakan terus terang saja. Saya merasa harus terbuka dan jujur, bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri supaya saya dapat berdamai dengan virus ini. Virus ini adalah sahabat saya, di mana dia selalu menemani saya siang dan malam. Saya tidak memusuhinya. Saya memerangi stigma dan diskriminasi dengan keterbukaan. Jika ada orang yang menjauhi saya setelah mengetahui status saya, anggap saja mereka tidak menyukai saya.”
Selasa, 15 April 2014
What is STORY OF ODHA ???
Story of ODHA akan berbagi kisah hidup yang menyentuh sanubari serta tentu saja kami akan memberikan informasi dan edukasi secara mendalam tentang hiv aids dan ODHA
Untuk dapat berinteraksi secara langsung silahkan kunjungi
Twitter : @StoryOfODHA
Facebook : Storyofodha